Selasa, 07 Desember 2010

keunikan suku di indonesia

Kehidupan Suku Baduy

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Suku Baduy. Suku Baduy mendiami kawasan Pegunungan Keundeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di Pegunungan Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat. Kadang kala suku Baduy juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang. Masyarakat suku Baduy sendiri terbagi dalam dua kelompok.
Posted by: sukubaduy | January 1, 2010

Suku Baduy Banten

Orang kanekes atau disebut juga Baduy, adalah suatu kelompok masyarakat dengan Adat sunda yang berlokasi di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Awal mula sebutan baduy tersebut adalah sebutan yang diberikan oleh penduduk luar, yang berawal dari peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah). Selain itu sebutan Baduy juga mungkin karena adanya sungai Baduy dan Gunung Baduy yang terdapat di wilayah utara. Namun suku Baduy sendiri lebih senang disebut dengan orang “kanekes”. Sesuai dengan nama wilayah mereka atau sesuai dengan kampung mereka. Read More…
Posted by: sukubaduy | June 20, 2007

Baduy Bukan Suku Terasing

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Suku Baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten.Masyarakat Baduy yang menempati areal 5.108 ha (desa terluas di Provinsi Banten) ini mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja menolak (tidak terpengaruh) oleh masyarakat lainnya, dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Penembahan Arca Domas) dan keramat. Namun intensitas komunikasi mereka tidak terbatas, yang terjalin harmonis dengan masyarakat luar, melalui kunjungan.
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu.
Read More…
Posted by: sukubaduy | June 18, 2007

Indahnya Baduy

suku baduy rumah adatKabupaten Lebak , disebelah utara berbatasan den gan Kabupaten Serang dan Tangerang, sebelah barat dengan Kabupaten Pandeglang, sebelah timur dengan Kabupaten Bogor dan Sukabumi dan sebelah selatan dengan Samudra Indonesia..
Selain alamnya yang kaya dengan aneka tambang dan hasil perkebunan, pertanian juga memiliki potensi perikanan laut dengan panjang pantai 75 km dari Muara Binuangeun – Cibareno, daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Read More…
Posted by: sukubaduy | January 6, 2006

Baduy : Busana Trasisional

Ciri khas suku Baduy yang tinggal di pegunungan Kendeng, desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten Selatan adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh karuhun mereka. Salah satu tradisi yang masih bertahan adalah menenun dan cara berbusana. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa busana suku Baduy saat ini merupakan bentuk busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam.
Wilayah desa Kanekes merupakan tanah adat suku Baduy, seluruh penduduknya adalah suku Baduy dan tidak bercampur dengan penduduk luar. Mereka bertutur dalam bahasa Sunda Buhun atau Sunda Kuno, dengan ciri sub dialek Banten. Ciri bahasa yang digunakan suku Baduy adalah tidak memiliki tinggi-rendah bahasa dengan aksen tinggi dalam lagu kalimat. Letak perkampungan biasanya berada di celah-celah bukit dan lembah yang ditumbuhi pepohonan besar. Jarak antara satu kampung dengan kampung lainnya berjauhan. Penduduknya menjaga, melindungi pohon dan hutan di sekitarnya dengan baik.
Read More…
Anjungan Lampung





Pembangunan Anjungan Lampung yang berintikan dua rumah adat, nuwou balak dan nuwou sessat, dimulai tahun 1973 dan pada 17 April 1975. Gubernur Lampung, Sutiyoso atas nama masyarakat Lampung mempersembahkannya kepada Ibu Tien Soeharto selaku Ketua Yayasan Harapan Kita. Kini Anjungan Lampung menampilkan enam bangunan utama, yaitu rumah adat panggung (nuwou/lamban balak), balai adat (nuwou sessat), bangunan kantor (nuwou kattur), bangunan mess (pesanggrahan anjula), teater terbuka (bataiyan), dan Kantin Pondok Krakatau.

Gerbang utama anjungan (lawang kuri) berarsitektur khas Lampung, di tengah halaman terdapat ikon Provinsi Lampung, yakni menara siger. Nuwou kattur, gedung berlantai dua untuk kantor pengelolaan anjungan, terletak di sebelah kanannya. Gedung ini juga digunakan untuk perpustakaan, ruang pelayanan informasi dan promosi, serta ruang konvensi.

Di sebelah kiri menara siger terdapat rumah adat berbentuk rumah panggung yang semuanya terbuat dari kayu, nuwou balak, disebut juga balai keratuan, yang di Lampung menjadi rumah tempat tinggal para kepala adat (penyimbang adat). Ruangan meliputi gapura (lawang kuri), tempat melapor (pusiban), tangga rumah (ijan geladak), serambi depan untuk menerima tamu (anjung-anjung), serambi tengah untuk tempat kumpul anggota kerabat pria dan wanita (lapang agung), kamar tidur bagi anak tertua (kebik temen atau kebik perumpu), kamar untuk anak kedua (kebik rangek atau penyimbang ratu), dan kamar untuk anak ketiga (kebik tengah atau penyimbang batin). Di daerah asalnya, rumah kepala adat memiliki beranda di sekeliling, yang membedakannya dengan rumah masyarakat biasa. Dahulu, atap rumah terbuat dari sirap, namun sekarang menggunakan seng ataupun genteng.

Di Anjungan Lampung, nuwou balak difungsikan sebagai ruang peragaan berbagai benda budaya, seperti pakaian adat, peralatan rumah tangga, pelaminan, dan kerajinan.

Nuwou sessat merupakan bangunan terbesar, yang di tempat asalnya digunakan untuk musyawarah (pepung adat) bagi para kepala adat (penyimbang adat atau purwatin)—oleh karena itu balai adat ini disebut juga balai agung—terdiri atas lima bagian, yakni tangga masuk beratap (ijan geladak), disebut serambi (rurung agung; anjung), digunakan untuk pertemuan kecil; ruang musyawarah resmi (pusiban); tempat menyimpan alat musik tradisional (ruang tetabuhan); dan ruang tempat para kepala adat beristirahat (gajah merem). Nuwou sessat di Anjungan Lampung terdiri atas dua lantai. Lantai atas digunakan untuk pergelaran kesenian dan upacara adat, sedangkan lantai bawah sebagai tempat peragaan dan pameran produk unggulan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung.
Pada halaman belakang terdapat teater terbuka, bataiyan, yang digunakan untuk pertunjukan, bersebelahan dengan Kafetaria Krakatau.

Anjungan Lampung pernah dikunjungi oleh tamu-tamu negara sahabat, baik tingkat kepala negara maupun kepala pemerintahan, misalnya Perdana Menteri Thailand Kukrit Pramoj pada 12 Juni 1975.